Oleh : Dan Artadinan
Kepala SMAN 1 Panumbangan & Plt Kepala SMAN 1 Banjar
Praktisi Pendidikan
Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan UNINUS
 
Pernahkah Bapak/Ibu guru merasa bahwa penjelasan di kelas seolah “kalah saing” dengan video TikTok berdurasi 15 detik? Atau ketika tugas penting terasa tidak semenarik notifikasi viral yang muncul tiap lima menit di layar siswa?
 
Kalau iya, kita sedang menghadapi realitas yang disebut para ahli sebagai “Era Dopamin” era di mana otak manusia, terutama anak muda, terbiasa menerima reward instan dari layar digital, menjadikan belajar terasa terlalu lambat, terlalu biasa, dan terlalu membosankan.
 
Tapi tenang, ini bukan akhir dari peran guru. Justru inilah tantangan zaman yang membuka ruang bagi guru untuk berevolusi dari sekadar pengajar menjadi pendamping belajar yang relevan, kreatif, dan dekat dengan dunia siswa.
 
*Apa Sebenarnya Era Dopamin Itu?*
 
Dopamin adalah zat kimia di otak yang berperan dalam menciptakan perasaan senang dan motivasi. Ketika kita mendapatkan sesuatu yang menyenangkan like di Instagram, video lucu di TikTok, atau skor tinggi dalam game dopamin langsung dilepaskan. Sensasi itu membuat kita ingin mengulanginya lagi dan lagi.
 
Masalahnya: Media sosial dan teknologi digital modern dirancang untuk memicu dopamin terus-menerus dalam waktu singkat. Hasilnya:
1. Otak menjadi terbiasa dengan kepuasan cepat (instant gratification).
2. Kegiatan seperti membaca, menulis esai, atau mendengarkan penjelasan di kelas terasa “kurang menarik”.
3. Terjadi penurunan daya tahan fokus dan motivasi jangka panjang.
 
Menurut studi dari University of California, rentang perhatian siswa saat ini rata-rata hanya 8 detik, lebih pendek dari ikan mas (9 detik). Ini bukan karena siswa malas, tapi karena otaknya dibanjiri stimulus cepat setiap harinya.
 
*Tantangan untuk Guru*
 
Di era ini, guru bersaing dengan:
1. Algoritma YouTube yang menyarankan konten nonstop.
2. Notifikasi TikTok dan Instagram yang muncul di jam pelajaran.
3. Game online yang menawarkan level, hadiah, dan komunitas.
 
*Lalu, bagaimana guru bisa tetap “menang” dalam merebut perhatian siswa?*
 
Kuncinya bukan melawan teknologi, tapi menungganginya mengubah strategi pembelajaran agar bisa menembus dinding dopamin siswa.
 
Strategi Spesifik agar Guru Tetap Menarik
 
1. Gunakan Format Cepat dan Visual di Awal Pembelajaran
 
Awali pelajaran dengan:
a. Meme edukatif yang relevan.
b. Video singkat (1 menit) yang memancing rasa penasaran.
c. Pertanyaan reflektif yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa.
 
Contoh:
Sebelum masuk materi kimia tentang asam-basa, tampilkan video viral tentang eksperimen “Coca-Cola vs Mentos”, lalu ajukan pertanyaan, “Kenapa bisa meledak? Ada reaksi apa di sana?”
 
Ini akan langsung mengaktifkan rasa ingin tahu mereka.
 
2. Ajak Siswa Jadi Kreator, Bukan Sekadar Konsumen
 
Media sosial tidak harus jadi pengalih perhatian—bisa juga jadi alat belajar.
Buat tugas atau proyek yang mengajak siswa membuat:
a. Reels Instagram penjelasan materi.
b. Konten TikTok tentang tips belajar, kutipan tokoh, atau drama pendek pelajaran.
c. Podcast mini berdurasi 3 menit untuk menjelaskan satu topik.
 
Contoh:
Siswa kelas XI diminta membuat video 1 menit bertema “Tips Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital” yang akan diunggah di akun kelas. Dengan begitu, mereka tetap belajar sambil menciptakan sesuatu yang bermakna.
 
3. Sisipkan “Momen Hadiah” dalam Pembelajaran
 
Karena otak siswa terbiasa dengan reward, guru bisa menggunakan:
a. Gamifikasi: beri poin, badge, atau leaderboard.
b. Refleksi cepat: 2 menit akhir pelajaran untuk menulis “satu hal baru yang saya pelajari hari ini”.
c. Waktu eksplorasi bebas: beri waktu 5 menit untuk eksplor topik yang mereka pilih sendiri, tapi masih relevan.
 
Hal ini memberi dopamin alami yang sehat dan mendukung motivasi jangka panjang.
 
4. Bina Koneksi Emosional dan Komunikasi Terbuka
 
Fakta penting: siswa jauh lebih termotivasi belajar dari guru yang mereka sukai dan percaya.
Bangun hubungan yang hangat dengan:
a. Humor yang sehat.
b. Cerita personal yang relevan.
c. Waktu mendengarkan keluh kesah mereka tentang belajar dan kehidupan.
 
Guru yang dipandang manusiawi dan peduli akan lebih didengar dibanding guru yang hanya “mengajar”.
 
5. Ajarkan “Literasi Dopamin” dan Kesadaran Digital
 
Pendidikan karakter masa kini juga mencakup kesadaran tentang penggunaan teknologi.
 
Materi yang bisa diajarkan di sela-sela pelajaran atau melalui P5:
a. Bagaimana kerja dopamin dan media sosial memengaruhi otak.
b. Mengapa kita merasa “lelah tapi sulit berhenti scrolling”.
c. Bagaimana cara mengatur waktu layar secara sehat (digital hygiene).
d. Tantangan puasa gadget 1 hari untuk membangun self-control.
 
Studi Kasus Sekolah yang Adaptif
 
Di beberapa sekolah, sudah mulai muncul program-program menarik seperti:
a. “Kelas Digital Sehat”: setiap Jumat, siswa belajar tanpa gadget selama 1 jam dan melakukan aktivitas reflektif.
b. “Konten Positif Challenge”: siswa diminta membuat satu konten bermakna setiap minggu yang diposting di akun resmi sekolah.
c. Proyek P5 tentang “Gaya Hidup Digital Seimbang”: siswa menyusun jurnal penggunaan gadget selama seminggu dan melakukan refleksi.
 
Hasilnya? Tidak hanya meningkatkan kesadaran digital, tapi juga memperkuat karakter dan kepedulian antar siswa.
 
Kesimpulan: Teknologi Boleh Canggih, Tapi Guru Tetap Berarti
 
Di tengah banjir konten dan ledakan dopamin digital, guru tetap punya peran vital: menyentuh akal sekaligus hati.
Anak-anak tidak butuh guru yang lebih “heboh” dari TikTok, tapi mereka butuh sosok yang mengerti dunia mereka dan mau berjalan bersama mereka.
 
Jadi, mari kita ubah paradigma:
a. Dari pengajar jadi pendamping.
b. Dari penutur jadi fasilitator pengalaman belajar.
c. Dari pengontrol jadi pembimbing reflektif.
 
Karena pada akhirnya, viral hanyalah sementara.
Tapi nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan guru akan tertanam sepanjang masa.